Sejak dasawarsa delapan puluhan (era 80-an), Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) kian berkembang menjadi bahan percaturan yang sangat menarik. Di bidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan internasional, HaKI menjadi demikian penting.
Dalam hubungan antar bangsa, kaitannya yang erat dengan perdagangan internasional tidak jarang telah memberi warna politik tersendiri. Baik secara langsung ataupun tidak langsung, keadaan tadi secara lebih banyak telah memberikan pengaruh terhadap cara pandang HaKI pada tingkat nasional.
Mungkin masih segar ingatan kita, semasa dasawarsa enam puluh atau tujuh puluhan, jarang terdengar ada perusahaan film atau asosiasi film nasional sebuah negara menjadi ribut hanya karena film-nya sedikit ditayangkan di negara lain, baik dalam arti jumlah judul maupun masa tayangnya. Lebih jarang lagi terdengar adanya “keributan” yang terjadi sekarang ini bukan saja masalah soal akses ke pasar, melainkan juga menyangkut pelanggaran Hak Cipta atas film yang bersangkutan, hak penyewaan (rental right) beserta pembagian pendapatan dari penyewaan tersebut, dan bahkan hak para pemain film dalam hal film tersebut diperbanyak dalam bentuk video.
Pada dasawarsa tersebut (60-70an), bahkan hampir tidak ada pemerintah negara lain demikian marah kepada pemerintah negara lain karena tidak adanya perlindungan paten yang telah dimiliki oleh industri obatnya. Dahulu jarang terdengar ada pemerintah negara mengancam kepada pemerintah negara lain, hanya karena penilaian mengenai kurangnya perlindungan HaKI di negara yang menerima fasilitas atau preferensi tadi.
Meredanya perang dingin telah menjadi sebab utama pengalihan sebagian besar modal dan teknologi dari industri militer ke “industri sipil”. Pemerintah negara-negara terutama di mana industri militer semula begitu menjadi tumpuan ekonomi secara nasional, menjadi sadar betapa pentingnya memberi perhatian dan perlindungan terhadap segala HaKI yang kemudian...